ABSTRAK
Penilitian ini bertujuan mengkaji
dukungan teknologi yang menyangkut informasi kepada nelayan lokal, sehingga
mereka dapat mengetahui dengan pasti wilayah perairan yang surplus ikan. Teknologi
ini antara lain adalah teknologi penginderaan jauh atau remote sensing, suatu
teknologi yang telah banyak digunakan negara-negara maju, seperti armada
perikanan jepang, untuk pengelola dan memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan
mereka.
PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa
dua pertiga bagian dunia adalah lautan, begitu pula dengan wilayah Indonesia
terdiri dari 62% ( ± 3,1 juta km2) berupa laut dan daerah pesisir. Karena
negara Indonesia dilalui oleh garis khatulistiwa, mempunyai karakteristik yang
unik karena di wilayah perairan tersebut sering terjadi interaksi antara massa
air yang datang dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pertemuan massa air
dari kedua samudera tersebut terdapat pada daerah-daerah wilayah perairan laut
Indonesia.
Pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan di Indonesia menghadapi beberapa kendala, contohnya antara
lain kondisi masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang masih termarginalkan,
adanya gejala overfishing di beberapa wilayah perairan, atau adanya pencurian
ikan oleh armada nelayan asing. Dan bila dicari hubungan dari beberapa kasus
tersebut tampaknya dapat ditarik benang merah antara kemiskinan nelayan dan
gejala overfishing serta pencurian ikan, yang antara lain disebabkan kurangnya
informasi atau ketidak tahuan nelayan mengenai daerah-daerah surplus perikanan
yang sifatnya sudah tentu sangat seasonable dan conditional. Kurangnya
informasi ini menyebabkan terjadinya rutinitas penangkapan ikan pada areal yang
sama, sementara di lain tempat nelayan asing yang sudah mempunyai informasi
yang handal menangkap ikan di daerah yang surplus yang seharusnya menjadi hak
nelayan lokal. Tidak bisa dipungkiri peran iptek sangat kental sekali disini,
dimana tanpa adanya dukungan iptek yang handal akan sulit bagi nelayan untuk
dapat keluar dari lingkaran kemiskinan yang selama ini mengelilingi mereka
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
Teknologi penginderaan jauh
atau remote sensing, suatu teknologi yang telah banyak digunakan negara-negara
maju, seperti armada perikanan jepang, untuk pengelola dan memanfaatkan potensi
sumberdaya perikanan mereka. Teknologi pada dasarnya memanfaatkan gejala alam,
yang dengan akal pikiran manusia dapat diterjemahkan ke dalam suatu bentuk
iptek (pengetahuan), yang digunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan umat
manusia, khususnya nelayan. Sehingga mereka dapat mengetahui dengan pasti
wilayah perairan yang surplus ikan. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk
melihat kontribusi fenomena alam pada perkembangan teknologi remote sensing
(penginderaan jauh / inderaja), serta bagaimana dukungan teknologi ini terhadap
produktivitas perikanan. Karena pada prinsipnya adanya teknologi inderaja ini
diharapkan dapat memperluas informasi perikanan kepada nelayan sehingga
kesejahteraannya kehidupannya dapat ditingkatkan.
Dalam kaitannya dengan
teknologi inderaja, fenomena merambatnya (propagation) energi matahari ke bumi
dan reaksi dari obyek-obyek di bumi terhadap energi matahari tersebut (obyek di
bumi dapat memantulkan/reflected, memancarkan/emitted, mengalirkan/transmitted
maupun menyerap/ absorbed energi matahari yang datang padanya), menjadi unsur
utama yang harus ditelaah dan dapat membuahkan ilmu. Selain itu, angkasa luar
beserta fenomenanya, yaitu tidak adanya gaya gravitasi, karakteristik
planet-planet di alam semesta maupun perputaran bumi pada porosnya membuat
manusia menciptakan satelit yang mengorbit di angkasa luar, sama seperti
planet-planet di alam tersebut. Kemudian untuk menghubungkan fenomena energi
matahari dengan perkembangan teknologi satelit ini, manusia menciptakan alat
optik yang diletakan pada satelit dan dapat merekam energi matahari yang
dipantulkan (reflected) , diserap (absorbed) maupun di pancarkan (emitted) oleh
obyek-obyek di bumi. Sehingga terjadilah apa yang disebut dengan teknologi
inderaja optik (optical remote sensing) yang antara lain dapat menggunakan
wahana satelit sebagai sarananya atau dikenal dengan sebutan satellite remote
sensing. Fenomena yang terjadi di alam pada dasarnya mengacu pada kaidah bahwa
energi matahari yang berinteraksi dengan obyek-obyek di bumi ini berada pada
kisaran gelombang elektromagnetik tertentu (sebagaimana dijelaskan pada Gambar
dibawah ini).
Spektrum Gelombang Elektromagnetik (Lillesand and Kiefer,
1987)
Dalam perjalanannya,
sebagian dari energi ini akan dipantulkan oleh partikel debu maupun molekul air
ataupun mengalami refraksi (scattered radiation) pada lapisan atmosfir.
Sementara sebagian dapat berinteraksi dengan bumi dan dapat dipantulkan
(reflected energy), diserap (absorbed energy), ataupun dialirkan ke lapisan
lain (transmitted energy). Data yang dipantulkan obyek di bumi (disebut sebagai
nilai reflectance) ini yang direkam oleh sensor pada satelit, dikirim ke
stasiun bumi dan diterjemahkan sebagai nilai kecerahan (brightness value) atau
nilai digital (digital value) saat disimpan pada computer compatible tape (CCT)
untuk pemanfaatan lebih lanjut.
Uraian interaksi obyek-obyek di permukaan bumi dengan
gelombang elektromagnetik sehingga dihasilkan citra inderaja
Energi elektromagnetik yang dipantulkan, diserap, dialirkan
maupun di pancarkan ini sifatnya sangat bervariasi tergantung pada
karakteristik obyek-obyek di permukaan bumi tersebut. Keadaan ini menunjukan
bahwa setiap obyek dibumi mempunyai spectral respond (reaksi spektral) yang
berbeda. Hal inilah yang dimanfaatkan dalam sistim inderaja melalui sistim
sensor pada satelit yang juga mempunyai spectral sensitivity (kepekaan terhadap
spektral) tertentu sebagai dasar terbentuknya data inderaja. Adapun
karakteristik spektral dari beberapa unsur-unsur utama di permukaan bumi, yaitu
tumbuhan, tanah dan air.
Karakteristik spektral reflektansi tanah, air dan vegetasi
(Lillesandand Kiefer, 1987)
Dengan mengacu pada fenomena alam yang menunjukan adanya
karakteristik obyek di bumi yang sangat spesifik dalam merespond energi
matahari (yang berada pada spektrum elektromagnetik), yang antara lain
ditunjukan pada gambar 3. Dapat dilihat peranan spektrum tampak mata (visible
spectrum) untuk sumberdaya kelautan, yang ditunjukan oleh kurva reflectancenya
pada tubuh air. Spektrum ini mempunyai panjang gelombang berkisar antara
0.4-0.7 um, yang terdiri dari spektrum tampak mata biru (visible blue) dengan
panjang gelombang 0.4–0.5 um, spektrum tampak mata hijau (visible green) dengan
panjang gelombang 0.5–0.6 um dan spektrum tampak mata merah (visible red)
dengan panjang gelombang 0.6–0.7 um (Jensen, 1986; Lillesand and Kiefer, 1987;
Swain and Davis, 1978).
Kemampuan merambat (propagation) di dalam kolom air dari
ketiga spektrum tampak mata tersebut dan reaksi spektralnya sangatlah beragam.
Gelombang tampak mata biru (visible blue) mempunyai kemampuan rambat yang
sangat tinggi, dimana gelombang ini dapat menebus lapisan air sampai ke dalaman
100 m (Nybakken, 1992). Gelombang tampak mata hijau (visible green) mempunyai
kemampuan rambat (propagation) yang lebih pendek di dalam tubuh air
dibandingkan dengan gelombang tampak mata biru (visible blue). Sedangkan
gelombang tampak mata merah (visible red) merupakan gelombang yang terpendek
dalam menebus lapisan kolom air. Di dalam kolom air gelombang tampak mata ini
akan mengalami absorsi maupun transmisi. Dan apabila gelombang ini berinteraksi
dengan materi yang berada di dalam kolom air barulah akan terjadi refleksi yang
nilainya akan direkam oleh sensor pada satelit.
Adapun kaitan antara fenomena alam dari gelombang
elektromagnetik ini dengan perikanan pada prinsipnya mengacu pada pangkal dari
semua bentuk kehidupan dalam laut, yaitu aktivitas fotosintetik tumbuhan
akuatik. Dimana dengan menggunakan bantuan energi cahaya matahari, dapat
mengubah senyawa-senyawa anorganik menjadi senyawa organik yang kaya energi dan
dapat menjadi sumber makanan bagi semua organisme laut (Nybakken, 1992).
Diantara semua tumbuhan akuatik fitoplanktonlah yang mengikat sebagian besar
energi matahari, dan menjadi dasar (level pertama) terbentuknya rantai makanan
dalam ekosistem bahari, dan sangat penting keberadaannya bagi semua penghuni
habitat bahari (Nybakken, 1992; Dupouy, 1991). Pada dasarnya fitoplankton
terdiri dari alga yang berukuran mikroskopik yang berisikan pigment
fotosintetik berwarna hijau, dan biasa disebut sebagai klorofil (Dupouy, 1991).
Klorofil yang berwarna hijau inilah yang pada dasarnya menjadi sumber informasi
perikanan laut karena keterkaitannya yang erat dengan produktivitas primer perikanan,
sehingga dapat disimpulkan dimana terdapat konsentrasi klorofil yang tinggi
disitu terdapat juga konsentrasi biota atau ikan laut yang tinggi.
Dalam kaitannya dengan inderaja, klorofil merupakan obyek
yang mudah dianalisa untuk memprediksi potensi perikanan laut. Karena unsur ini
akan menyerap gelombang tampak mata biru dan memantulkan gelombang tampak mata
hijau secara kuat. Sehingga ketika terjadi peningkatan kandungan klorofil,
dapat dilihat adanya peningkatan energi yang dipantulkan oleh gelombang tampak
mata hijau, dan penurunan pantulan gelombang tampak mata biru yang signifikan
(Gambar 4)(Swain and Davis, 1978).
Spektral reflektans dari air laut dgn konsentrasi klorofil
yang berbeda (Swain and Davis, 1978)
Contoh dari penerapan karakteristik spektrum tampak mata
(visible spectrum) untuk memprediksi produktivitas laut (marine productivities)
melalui konsentrasi klorofil salah dapat dilihat pada gambar 5. Dimana warna
hijau tampak sebagai reaksi dari spektrum tampak mata hijau yang berinteraksi
dengan Klorofil dan warna biru merupakan reaksi dari laut yang berinteraksi
dengan spektrum tampak mata biru, yang dalam penelitian ini kedua unsur
tersebut diberi warna berbeda, yaitu hitam kecoklatan untuk laut dalam, biru
untuk konsentrasi klorofil rendah dan hijau untuk konsentrasi klorofil tinggi.
Akan tetapi, fitoplankton atau klorofil umumnya hanya menghuni suatu lapisan
air permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari, dan mempunyai
suhu yang relatif homogen. Sedangkan zat hara anorganik yang dibutuhkan
fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak terletak pada zona fotik yang
terdapat jauh dari permukaan dengan suhu yang berbeda jauh (lebih dingin)
dengan suhu permukaan. Sehingga dibutuhkan suatu mekanisme untuk mengangkat
massa air yang kaya akan hara ini ke permukaan sehingga dapat bercampur dengan
massa air permukaan dan dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan
berkembang (Nybakken, 1992). Dalam hal ini perpindahan massa air ke atas
(upwelling), arus-arus divergensi dan arus-arus khusus, yang menyebabkan
terjadinya fenomena front dan eddie di laut, dapat memindahkan dan mencampurkan
kedua massa air yang berbeda suhu tersebut dengan bantuan kekuatan angin.
Upwelling merupakan penaikan massa air laut dingin dan kaya nutrien ke lapisan
di atasnya (Longhurst, 1988).
Distribusi klorofil pada perairan Nusa Tenggara Timur dengan
menggunakan data Modis_Terra (http://www.gsfc.nasa.gov)
Front merupakan pertemuan dua massa air yang berbeda
karakteristiknya, misalnya pertemuan antara massa air laut Jawa yang agak panas
dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin dan ditandai dengan gradient
suhu permukaan laut yang sangat jelas pada kedua sisi front (Hasyim dan Salma,
1998). Berikut ini merupakan gambaran dari proses terjadinya upwelling.
Proses terjadinya upwelling dan downwelling
Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan
pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan
melalui limpasan air sungai, dan sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas
pantai. Meskipun demikian pada beberapa tempat masih ditemukan konsentrasi
klorofil-a yang cukup tinggi, meskipun jauh dari daratan. Keadaan tersebut
disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan
terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada
daerah upwelling. Sedangkan eddie merupakan gerakan air berpusar searah arus
yang disebabkan adanya pertemuan massa air panas dan dingin sehingga dapat
tercipta cold ring (cold eddie) dan warm ring (warm eddie) (Gambar 7)
(Longhurst, 1988). Upwelling, front dan eddie merupakan perangkap zat hara dari
kedua massa air yang berbeda suhu tersebut sehingga dapat merupakan feeding
ground bagi jenis-jenis ikan pelagis dan juga dapat menjadi penghalang bagi
pergerakan migrasi ikan karena pergerakan airnya yang sangat cepat dan
bergelombang besar (Hasyim dan Salma, 1998). Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan stok ikan di ketiga tempat tersebut dan menjadi tempat yang ideal
untuk penangkapan ikan jenis pelagis. Dengan demikian suhu dapat menjadi salah
satu paramater yang dapat dimanfaatkan oleh sistim inderaja untuk menduga stok
ikan, yaitu dengan menggunakan gelombang thermal. Karena obyek di bumi,
termasuk tubuh air, juga merupakan sumber radiasi, dimana obyek yang mempunyai
suhu di atas nilai absolut 0oC akan memancarkan energi panas ke atmosfir
(Lillesand and Kiefer, 1987). Energi inilah yang ditangkap oleh sensor thermal
pada satelit untuk diterjemahkan menjadi nilai digital pada citra satelit.
Perbedaan eddies pada kedalaman
perairan(www.oc.nps.navy.mil)
Masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimalisasi hasil
tangkapan kan khususnya ikan pelagis adalah sangat terbatasnya data dan
informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat dengan daerah
potensi penangkapan ikan. Armada penangkap ikan berangkat dari pangkalan bukan
untuk menangkap tetapi untuk mencari lokasi penangkapan sehingga selalu berada
dalam ketidakpastian tentang lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan,
sehingga hasil tangkapannya juga menjadi tidak pasti. Oleh karena itu,
informasi mengenai daerah potensi penangkapan ikan sangat diperlukan dalam
pembangunan sektor perikanan, khususnya bagi kegiatan penangkapan ikan.
Informasi tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan survei, eksplorasi dan
penelitian-penelitian dengan menelaah karakteristik serta variabilitas dari
parameter oseanografi. Pengamatan dan monitoring fenomena oseanografi dan
sumberdaya hayati laut memerlukan penggunaan serial data dalam selang waktu
observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan atau tahunan). Dari citra suhu
permukaan laut (SPL) multitemporal dapat diperoleh informasi tentang pola
distribusi SPL dan upwelling atau front yang merupakan daerah potensi ikan.
Dari citra klorofil-a dapat diperoleh informasi konsentrasi fitoplankton
(mg/m3) dengan nilai yang diwakili oleh degradasi warna yang berbeda. Diagram
alir untuk analisis daerah potensi perikanan.
KESIMPULAN :
Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi
yang berkembang melalui penelaahan fenomena-fenomena alam dan adanya keinginan
untuk memperoleh informasi global mengenai kondisi bumi pada umumnya dan
perikanan pada khususnya. Terlebih lagi perikanan laut umumnya mencakup daerah
yang luas, remote (jauh) dan sulit diamati manusia tanpa adanya bantuan
teknologi. Sehingga dengan mempelajari fenomena alam, pada akhirnya dapat
mengembangkan teknologi satelit sebagai salah satu wahana yang dapat digunakan
untuk menempatkan sensor inderaja, sehingga dapat diperoleh informasi yang
global mengenai kondisi perikanan laut nasional maupun internasional. Teknologi
ini dapat menyumbangkan informasi secara kontinu kepada armada nelayan nasional
mengenai daerah potensi perikanan tangkap. Dengan kata lain produktivitas
perikanan nasional dapat ditingkatkan melalui perkembangkan teknologi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, B.O dan Minnet, P.J. 1999. MODIS Infrared Sea Surface Temperature
Algorithm. Algorithm Theoretical Basis Document Version 2.0. University
of Miami. Florida. Miami.
Colorado. 2004. Sea Surface Height Anomaly. TOPEX/POSEIDON.http://www.ccar.colorado.edu/. [30 Juni 2005]
Dupouy, C. 1991. Satellite Ocean Color Use for Oceanic Resources:
Monitoring ocean productivity using NIMBUS CZCS. Aplications of Remote
Sensing in Asia and Oceania: Environmental Change Monitoring. Asian
Association on Remote Sensing, Tokyo, Japan. pp 313-318
Hasyim, B. dan Nia Salma. 1998. Analisis Distribusi Suhu Permukaan Laut
dan Kaitannya Dengan Lokasi Penangkapan Ikan dan Laju Pancing Ikan Tuna
di Perairan Selatan Bali – Jawa Timur. Prosiding Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ke-8 MAPIN. Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia. Jakarta,
Indonesia. pp 249-256
Jensen, J.R. 1986. Introductory Digital Image Processing: A Remote
Sensing Perspective. Prentice-Hall. Englewood – New Jersey. USA
LAPAN. 2004. Model Ekstraksi Data MODIS Untuk Penentuan Suhu Permukaan
Laut dan Klorofil. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi
Penginderaan Jauh. Pekayon. Jakarta Timur.
Lillesand, M. dan Kiefer, R.W. 1990. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley & Sons, Inc., New York.
Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley and Sons. New York. USA
Longhurst, A.R. 1988. Analysis Of Marine Ecosystems. Academic Press Linited. London. UK
NASA. 2005. Time Series Data and Applications. MODIS-Terra.
http://www.gsfc.nasa.gov. [13 April 2005]
http://modis.gsfc.nasa.gov. [03 April 2005]
NASA. 2005. Spesification from MODIS.
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov. [29 April 2005]
http://podaac.jpl.nasa.gov. [10 April 2005]
NASA. 2005. Sea Surface Winds Speed and Vectors. QuickSCAT.
http://www.winds.jpl.nasa.gov. [29 Juni 2005]
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta
Peta laut. 2005. Infobcs. Nusa Tenggara Timur.[http://www.petalaut.infobcs.com [27 Februari 2005]
Sabins, F. 1996. Remote Sensing Principles and Interpretation. Second Edition. W. H. Freeman an Company. New York.
Swain, P.H. and Shirley M. Davis. 1978. Remote Sensing: The Quantitative Approach. McGraw –Hills. New York. USA
Tameishi, Hideo. 1991. Fisheries Detection Using NOAA Satellite; Why Can
Fishing Grounds Be Monitored by Remote Sensing. Aplications of Remote
Sensing in Asia and Oceania: Environmental Change Monitoring. Asian
Association on Remote Sensing, Tokyo, Japan. pp 323-332
refrensi : rustadi14-newsartikel.blogspot.com/2011/12/teknologi-penginderaan-jauh-kelautan.html