Mesuji (Softskill "KONFLIK DALAM ORGANISASI)

| Jumat, 12 Oktober 2012

A. Pendahuluan

Organisasi dalam segala macam bentuk dan jenisnya dalam mewujudkan tujuan bersamadengan seluruh elemen yang ada pasti pernah mengalami situasi yang tidak bisa memuaskankeinginan semua orang yang terlibat dalam usaha mencapai tujuan tersebut. Hal ini sangat wajarkarena di dalam organisasi terdiri dari berbagai macam latar belakang suku, agama, etnis,budaya, sosial, ekonomi, politik, dan bahkan negara yang berda-beda. Organisasi yang padaumumnya memiliki tingkat heteroginitas tinggi, sangat potensial terhadap munculnya konflikbaik konflik individu maupun konflik organisasi. Dalam interaksi sosial anatar individu atauantar kelompok atau kombinasi keduanya, sebenarnya konflik merupakan hal yang alamiah.Konflik yang ditimbulkan oleh masalah-masalah hubungan pribadi yang kecil kadang-kadang memiliki dampak luas dalam suatu organisasi.

Secara umum konflik tidak bisa dihilangkan sama sekali, tetapi hanya bisa ditekan atau dikurangi kualitas, kuantitas, dan intensitasnya. Dalam kehidupan manusia sehari-hari, konflik dapat timbul dan muncul kapan saja (pagi, siang, sore, malam), dimana saja (di kantor, di rumah, di pasar, di sawah, di jalan, di stasiun, di bandara, di terminal, di swalayan, di kawasan kumuh, di kawasan elit, dan di istana) sekalipun. Konflik juga bisa dialami oleh siapa saja (orang tua, remaja, anak-anak, pria, wanita, orang terpelajar, orang awam, orang miskin, dan orang kaya atau jutawan) atau siapapun yang hidup berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain konflik merupakan realita hidup, mau tidak mau, suka atau tidak, cepat atau lambat pada suatu saat dalam menjalani kehidupannya orang pasti akan menghadapinya hanya saja tergantung besar kecilnya tingkat konflik yang dihadapi.

Konflik pada dasarnya berkaitan erat dengan perasaan (emosi) manusia, seperti perasaandiabaikan, disepelekan, dan tidak dihargai oleh kawan seprofesi, atasan, maupun terhadap orang-orang yang menjadi bawahan. Perasaan tidak dihargai dan disepelekan seringkali muncul ketikadistribusi informasi organisasi tidak terkomunikasikan dengan baik sesuai standar operasioanlprosedur yang telah disepakati bersama. Keadaan seperti ini dapat mempengaruhi seseorangdalam melakukan pekerjaan sehingga dapat membuat seseorang menjadi sering berbuat salah.


B. Definisi

            Konflik berasal dari bahasa Laitn: Confligo, terdiri dari dua kata yaitu “con” berartibersama-sama dan “fligo” yang berarti pemogokan, penghancuran atau peremukan. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata konflik berarti pertentanganatau percekcokan. Sedangkan Dalam Concise English dictionary, (1989), konflik di definisikan sebagai: a fight, acollision, a struggle, a contest, opposition of interest, opinions or purposes, mentalstrife, andagony. (perkelahian, tabrakan, perjuangan, kontes, oposisi kepentingan, pendapat atau tujuan,perselisihan mental, dan penderitaan.)
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah segala macaminteraksi pertentangan antara dua atau lebih pihak. Dengan kata lain konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan/penyebab utama, yaitu tujuan yang ingin dicapai. Disamping itu, sikap antagonistis dan kontroversi yang ditunjukkan oleh seseorang dalam situasi dan peristiwa tertentu juga menjadi pemicu munculnya konflik dalam suatu organisasi.




LATAR BELAKANG MASALAH KONFLIK BERDARAH MESUJI


            Keberadaan Dusun Talang Gunung dengan penduduk asli masyarakat Lampung Mesuji yang aman, tentram dan agamis, mulai terusik sejak Departemen Kehutanan untuk pertama sekali melaksanakan pengukuran batas areal Kawasan Hutan Sungai Buaya Reg.45 pada Tata Guna Hutan kesepakatan (RTGHK) yang diusulkan oleh Gubernur KDH Tingkat I Lampung dan memasukkan Dusun Talang Gunung menjadi Kawasan Hutan sejak 1985, dengan diterbitkannya Keputusan Mnetri Kehutanan Ri No. 67/Lpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991, sedangkan Hasil pengukuran tata batas 1985-1987 disyahkan dengan Keputusan No.785/kpts-II/1993 tanggal 2 November 1993.
            Dengan adanya fakta secara obyektif dari seorang warga yang sering menemukan banyak pelaksanaan Tata Batas areal berdasarkan kehendak Kehutanan dan Pemerintah Daerah Tingkat I Lampung “tidak melibatkan masyarakat Dusun Talang Gunung”, sering dilakukan penanaman pal batas pada malam hari dan mengikuti batas alam Sungai Buaya dan sering kepergok/didapati sebagian penduduk, petugas pelaksaan pengukuran dengan berbagai alasan untuk mengelabui penduduk agar dapat terlaksananya tugas pengukuran serta pemasangan pal batas dan tuntasnya proyek dengan mengabaikan keberadaan hak ulayat/adat atas tanah dan keberadaan Dusun Talang Gunung.
            Bahwa Perluasan areal Kawasan Hutan Produksi Sungai Buaya Reg.45 dari keluasan semula 33.500 Ha menjadi 43.100 Ha tidak melalui prosedur penyerahan lahan oleh tokoh masyarakat secara lisan maupun tertulis sebagai dasar hukum perluasan areal serta bukan mengukur areal seluas 33.500 Ha.
            Sejak saat itu ketentraman, mata pencaharian dan kebebasan penduduk Dusun Talang Gunung terusik oleh kegiatan pembukaan lahan. Intimidasi oleh pihak Perusahaan sampai kepada isolasi mata pencaharian dari kebun, ladang dan mencari ikan disepanjang sungai didalam areal tidak diperbolehkan serta komunikasi terhadap masyarakat di luar Dusun Talang Gunung mulai mengalami proses pemeriksaan pengamanan untuk menuju dan keluar Dusun karena melalui askses jalan HTI yang semula adalah merupakan jalan yang dibangun dan dibuka serta dibiyai swadaya masyarakat Dusun Talang Gunung sebelum adanya Kawasan Hutan/Rimba Larangan Sungai Buaya.
            Lahan perambahan PT. BANGUN NUSA INDAH LAMPUNG adalah merupakan lahan usaha perladangan masyarakat (sebelum dicaplok/diokupasi) Pemerintah. Pada akhirnya terjadi gejolak, pembakaran perumahan dan kantor Perusahaan dan hilangnya nyawa orang dilokasi ini pada tahun 1998 dan sampai saat ini masih ada penduduk dan pemilik lahan yang mendekam di penjara akibat peristiwa ini.

            Dalam masalah ini Pemerintah kurang memberikan ketegasan dan kejujuran dalam menyikapi peristiwa ini. Saya bersolusi bahwa pihak ketiga tidak seharusnya berada dalama lingkup permasalahan yang tidak dalam tingkatan institusi. Bilamana dengan cara penyampaian terang terangan secara jujur dan memberikan sebuah solusi tanpa pengaruh dari pihak lain, dalam hal ini pihak ketiga, dari dua belah pihak antara warga Desa Talang Gunung dengan Kebijakan Pemerintah, dengan cara seperti memberikan fasilitas dan peningkatan kesejahteraan dari pendidikan , kesehatan dan pengelolah SDM. Maka tidak akan dipungkiri lagi Peristiwa berdarah yang tak perlu terjadi bisa dihindari. 



KRONOLOGI KEBERADAAN DAN
UPAYA PERMOHONAN PENGEMBALIAN LAHAN/PELEPASAN TANAH
MASYARAKAT DUSUN TALANG GUNUNG
KEPADA PEMERINTAH (DEP. KEHUTANAN) SEJAK TAHUN 1997/1998
SAMPAI SEKARANG TAHUN 2004



1.      KEBERADAAN DUSUN TALANG GUNUNG, KAMPUNG / DESA TALANG BATU KEC. MESUJI LAMPUNG

            Desa Talang Gunung termasuk wilayah Kampung/Desa Talang Batu berdiri sejak tahun 1918 keberadaannya diakui melalui Besloeit Van den Resudent der Lampongsche – Districten de Fato 12 September 1918 No. 6185/5.1918 dan dihuni sejak tahun 1908, penunjukan dan pengakuan/ pengangkatan Kepala Kampung Talang Batu diperkuat melalui Deze dient ten bewjize dat  BAHOESIN bij besluit van den Resident der Lampongsche – Districten de do 29 Agustus 1932 No.422 serta Volkstelling Van 1936 Bewijs Van Anstelling Van BAHOESIN GELAR TUAN PESIRAH menjadi Kepala Kampung Talang Batu Wilayah ini termasuk dalam District Airlangga/Wiralaga membawahi 22 Oemboeldan diakaui pada Besluitvan Residen Van Lampongsche District tanggal 16 April 1941 No. 20/1941 oleh Van Flaatselijik Bestur Van Menggala dan diketahui oleh De Controleur ter Beschikking Resident Van der Lampongsche – District pada tanggal 15 April 1941 No.253 tentang Surat Keterangan Persetujuan Kepala Kampung Talang Batu terhadap penunjukan Rimba Larangan “Sungai Buaya” seluas 33.500 Ha dengan tidak memasukan umbul/dusun serta garapan ke 22 umbul menjadi bagian dari Rimba Larangan/Kawasan Hutan “Sungai Buaya” Reg.45 yang disyahkan Besluit Resident Lampung District No.249 tanggal 12 April 1940, ke 22 Oemboel ini adalah cikal bakal/awal lahirnya pemukiman masyarakat asli Mesuji Lampung di Dusun Talang Gunung.
            Bahwa didalam garapan penduduk/lahan milik masyarakat dimaksud terdapat tanaman karet, rotan, bambu, damar serta ladang dan statusnya adalah tanah masyarakat yang tidak termasuk bagian dari Rimba Larangan/Kawasan Hutan tersebut sesuai dengan surat Keterangan yang dibuat dan ditandatangani Kepala Kampung Talang Batu pada tanggal 9 maret 1941.
            Keberadaan Dusun Talang Gunung dengan penduduk asli masyarakat Lampung Mesuji yang aman, tentram dan agamis, mulai terusik sejak Departemen Kehutanan untuk pertama sekali melaksanakan pengukuran batas areal Kawasan Hutan Sungai Buaya Reg.45 pada Tata Guna Hutan kesepakatan (RTGHK) yang diusulkan oleh Gubernur KDH Tingkat I Lampung dan memasukkan Dusun Talang Gunung menjadi Kawasan Hutan sejak 1985, dengan diterbitkannya Keputusan Mnetri Kehutanan Ri No. 67/Lpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991, sedangkan Hasil pengukuran tata batas 1985-1987 disyahkan dengan Keputusan No.785/kpts-II/1993 tanggal 2 November 1993.






           
2.      PERMASALAHAN YANG TIMBUL SEJAK PENGUKURAN AREAL TAHUN 1985-1986 DAN 1986-1987 DAN KEPUTUSAN MENHUT

            Banyak pelaksanaan Tata Batas areal berdasarkan kehendak Kehutanan dan Pemerintah Daerah Tingkat I Lampung “tidak melibatkan masyarakat Dusun Talang Gunung”, sering dilakukan penanaman pal batas pada malam hari dan mengikuti batas alam Sungai Buaya dan sering kepergok/didapati sebagian penduduk, petugas pelaksaan pengukuran dengan berbagai alasan untuk mengelabui penduduk agar dapat terlaksananya tugas pengukuran serta pemasangan pal batas dan tuntasnya proyek dengan mengabaikan keberadaan hak ulayat/adat atas tanah dan keberadaan Dusun Talang Gunung.
            Pemerintah merencanakan pemindahan penduduk di 3 dusun yaitu Tanjung Harapan, Pelita Jaya dan Talang Gunung menjadi Transmigrasi Lokal ke Rawajitu dan 2 dusun telah berajalan, tetapi khusus masyarakat Dusun Talang Gunung tidak mengkhendaki pemindahan penduduk ke tempat yang disediakan tetapi memohon agar Pemerintah membina dan mengeluarkan lahan garapan dan pemukiman, kuburan para leluhur, fasilitas umum, sosial lainnya dari hasil pengukuran 1985-1987 tersebut.
            Khusus terhadap penduduk Dusun Pelita Jaya dan Tanjung Harapan yang telah dipindahkan ke lokasi Translok Rawajitu pada umumnya adalah masyarakat pendatang dan hanya menopang lahan garapan diatas lahan ulayat/adat masyarakat Dusun Talang Gunung.
            Bahwa Perluasan areal Kawasan Hutan Produksi Sungai Buaya Reg.45 dari keluasan semula 33.500 Ha menjadi 43.100 Ha tidak melalui prosedur penyerahan lahan oleh tokoh masyarakat secara lisan maupun tertulis sebagai dasar hukum perluasan areal serta bukan mengukur areal seluas 33.500 Ha.
            Berdasarkan fakta-fakta dilapangan dan diatas kertas sebagai bukti autentik/nyata maka Pengukuran Batas dalam rangka Pengukuran Batas Kawasan Hutan Produksi Sungai Buaya Reg 45 adalah cacat hukum karena asal muasal perluasan tidak clear and clean.          Proses Selanjutnya, bahwa secara resmi Dusun Talang Gunung yang semula diluar Rimba Larangan/Kawasan Hutan berdasarkan ketetapan Besluit Resident Van Lampongshe van District No.249 Tanggal 25 April 1940 menjadi kawasan Hutan Produksi Sungai Buaya Reg.45 secara sepihak oleh pemerintah dan Dusun Talang Gunung berada di tengah areal perluasan, areal Kawasan Hutan sejak 1985 sampai saat ini.
            Bahwa berdasarkan Keputusan Mentri Kehutanan RI No.668/Kpts-II/1991 tanggal 3 Oktober 1991 memberikan ijin HTI PT.SILVA LAMPUNG ABADI pada sebagian areal Kawasan Hutan Produksi ini dan dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan RI NO.93/Kpts-II/1997 tanggal 2 november 1997 dengan luas areal kerja 43.100 Ha yang didalamnya termasuk lahan garapan, kuburan leluhur, fasilitas sosial dan umum serta pemukiman pendududuk Dusun Talang Gunung menjadi areal kerja perusahaan tsb.
            Sejak saat itu ketentraman, mata pencaharian dan kebebasan penduduk Dusun Talang Gunung terusik oleh kegiatan pembukaan lahan. Intimidasi oleh pihak Perusahaan sampai kepada isolasi mata pencaharian dari kebun, ladang dan mencari ikan disepanjang sungai didalam areal tidak diperbolehkan serta komunikasi terhadap masyarakat di luar Dusun Talang Gunung mulai mengalami proses pemeriksaan pengamanan untuk menuju dan keluar Dusun karena melalui askses jalan HTI yang semula adalah merupakan jalan yang dibangun dan dibuka serta dibiyai swadaya masyarakat Dusun Talang Gunung sebelum adanya Kawasan Hutan/Rimba Larangan Sungai Buaya.
            Pada tahun 1990 kegiatan PT. BANGUN NUSA INDAH LAMPUNG mulai mengokupasi/merambah Kawasan Hutan ini dengan penanaman singkong. Proses seiring hanya diatas kertas dan tindakan penyetopan tidak berjalan dan terputus begitu saja ?, hingga  ± 11 tahun (1990-2001) tidak pernah ada tindakan hukum secara nyata dan tegas terhadap perusahaan, tetapi terhadap masyarakat Dusun Talang Gunung, hukum ditegakkan oleh aparat Kehutanan dan aparat lainnya.
            Lahan perambahan PT. BANGUN NUSA INDAH LAMPUNG adalah merupakan lahan usaha perladangan masyarakat (sebelum dicaplok/diokupasi) Pemerintah. Pada akhirnya terjadi gejolak, pembakaran perumahan dan kantor Perusahaan dan hilangnya nyawa orang dilokasi ini pada tahun 1998 dan sampai saat ini masih ada penduduk dan pemilik lahan yang mendekam di penjara akibat peristiwa ini.


3.      PERMOHONAN PENGEMBALIAN LAHAN DAN TUNTUTAN MASYARAKAT DUSUN TALANG GUNUNG AGAR LUAS KAWASAN HUTAN TERSEBUT DIKEMBALIKAN KE LUAS SEMULA 33.500 Ha

            Pada proses okupasi/pengambilalihan areal usaha dan lahan pemukiman penduduk Dusun Talang Gunung menjadi areal Kawasan Hutan Produksi Tetap (KHP) Sungai Buaya Reg.45 dalam rangka pengukuhan, tata batas yang membidani lahirnya RTGHK Propinsi Dati I Lampung melalui Surat Keputusan  Menteri Kehutanan RI NO.67/kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 yang cacat hukum dalam prosesnya dilapangan tahun 1985/1986 dan 1986-1987, sedangkan hasil tatabatasnya baru disyahkan dengan Keputusan No. 785/Kpts-II/1995 tanggal 22 November 1993. Intimidasi dan berbagai proses yang dialami masyarakat serta pemberian ijin pelepasan areal Kawasan Hutan untuk Transmigrasi yang semula merupakan tanah masyarakat dan tempat berlangsungnya proses pemenuhan kehidupan dan hajat hidup masyarakat Dusun Talang Gunung membuat prosesnya disepakati untuk membuka upaya penyadaran pihak Departemen Kehutanan untuk mengembalikan areal diluar 33.500 Ha dikembalikan kepada masyarakat Dusun Talang Gunung, maka melalui surat No.02/V/1998 tanggal 28 mei 1998 sampai No.05/VII/1998 tanggal 2 Juli 1998.
            Berdasarkan Surat Permohonan Kuasa Masyarakat Dusun Talang Gunung No.07/01/1999 tanggal 12 Januari 1999 untuk pengembalian tanah masyarakat dan menindaklanjuti Surat Bupati KDH Tingkat II Tulangbawang No.590/46/01.4/TB/1999 tanggal 6 Februari 1999 maka kantor Wilayah Departemen Kehutanan Provinsi Lampung menindaklanjutinya dan menurunkan tim Peninjauan lapangan dalam rangka permohonan masyarakat Dusun Talang Gunung.



A.     Aspek Legalitas Kawasan hutan
1.      Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) Sungai Buaya (REG 45) ditunjuk berdasarkan Besulit Resident Lampung District No.249 tanggal 12 April 1940 dengan luas ± 33.500 Hektar.
2.      Berdasarkan dokumen tata batas menunjukan bahwa permasalahan lahan penduduk asli Dusun talang Gunung ( 137 KK) dalam kawasan HP oleh Panitia batas hutan ( PTB ), dimana masyarakat Talang Gunung akan di pindahkan ( Translokasi ).
3.      Kawasan HP sungai buaya dikukuhkan oleh Menterki Kehutanan sesuai SK No. 785/Kpts-II/1993 tanggal 22 November 1993 dengan luas 43.100 Hektar.

B.     Aspek Legitimasi kawasan Hutan
1.      Pembahasan Panitia Tata Batas melibatkan unsur-unsur lintas sektor lingkup Kabupaten sesuai Berita Acara Tata Batas ( BATB ).
2.      Pelaksanaan pemancangan batas diumumkan kepada masyarakat sesuai BATB.

C.     Legalitas Pemanfaatan Kawasan hutan
1.      Berdasarkan SK Menhut No.688/Kpts-II/1991 tanggal 7 oktober 1991, PT Silva Lampung Abadi memperoleh Hak pengusahaan Hutan Tanaman Industri ( HPHTI ) seluas ±32.600 hektar pada sebagian kawasan HP Sungai Buaya.
2.      Berdasarkan SK Menhut No.688/Kpts-II/1991 tanggal 17 pebruari 1997, PT Silva Inhutani Lampung ( Kerjasama PT Silva Lampung Abadi dengan PT Inhutani V ) mendapatkan perluasan areal HPHTI sehingga luasnya menjadi ±43.100 Hektar,Mencakup Dusun Talang Gunung dan Desa Talang Batu.

D.     Permasalahan
1.      Masyarakat Talang Gunung mengajukan permohonan peninjauan kembali perluasan kawasan HP Sungai Buaya REG.45 seluas ± 7000 Hektar di kembalikan kepada masyarakat Talang Gunung.
2.      Menteri Kehutanan dan Perkebunan sesuai surat No.1135/MENHUTBUN/VIII/2000 tanggal
24 Agustus 2000 menanggapi permohonan peninjauan kembali perluasan kawasan HP Sungai Buaya Reg.45 Sebagai Berikut :
a.       Pemukiman/Desa dan Fasilitas Umum dikeluarkan dari kawasan Hutan
b.      Areal seluas ±7000 Hektar tersebut tetap sebagai kawasan hutan yang dapat dikelola bersama dengan pola kemitraan antara masyarakat Talang Gunung dengan PT SIL.
c.       Merealisasikan pola kemitraan diperlukan perjanjian kerjasama saling menguntungkan antara kedua belah pihak termasuk kemungkinan penyelesaian kembali terhadap legalitas areal seluas ±7000 hektar melalui SK Menteri Kehutanan.
3.      Upaya Penyelesaian ini mendapat penolakan dari masyarakat karena masyarakat tetap menuntut seluruh areal seluas ±7000 hektar dikeluarkan dari kawasan HP Sungai Buaya Reg.45.
4.      Tahun 2005 Menteri kehutanan melalui suratnya tanggal 18 januari 2005 menegaskan kembali intinya penyelesaian permasalahan Kawasan HP Sungai Buaya.





E.     Rencana Tindak Lanjut Penyelesaian
1.      Terdapat 2 hal sebagai tindak lanjut atas solusi dalam surat Menhutbun yaitu :
a.       Penetapan Enklave dan
b.      Kemitraan Masarakat dengan PT SIL
2.      Mekanisme penetapan enklave sbb :
a.       Pembentukan PTB
b.      Identifikasi/inventarisasi trayek batas enclave
c.       Tata batas enklave
d.      Penetapan enclave
3.      Pola kemitraan, perlu dibahas lebih lanjut.

           
           





Kesimpulan
  Bahwa terjadi banyak pelanggaran- pelanggaran HAM yang di lakukan oleh aparat penegak hukum dalam bentrokan antara warga dengan perusahan- perusahan yang berada di Mesuji.pelanggaran itu berupa penembakan beberapa anggota masyarakat pada saat mengamankan aksi masa yang berunjuk bentrok fisik itu.ya dalam hal ini aparat penegak hukum yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin akan dikenai sanksi berupa tertulis dan mutasi.bagi anggota polisi yang terbukti melalukan penembakan akan dikenai sanksi pidana.

Saran
  Ya saya sebagai mahasiswa dan WNI yang baik,ingin memberi saran kepada pimpinan polri dan jajarannya agar segera mengevaluasi tubuh polri.agar jangan sampai polri yang sekarang menjadi tentara yang dulu pada era reformasi.yang mana pada saat itu tentara di jadikan alat bagi penguasa.next pemerintah ya terutama kementrian hukum dan ham,segera usut tuntas masalah sangketa tanah yang terjadi di Mesuji.khususnya pelanggaran- pelanggaran HAM yang terjadi di sana.semoga kasus mesuji ini yang terakhir kalinya dan pemerintah lebih bersifat objektif dalam menangani sebuah kasus ini dengan seadil-adilnya. Dan kita sebagai generasi muda harus belajar dari kesalahan dari generasi yang lalu agar tidak terjadi lagi di masa datang, walaupun masalah ini belum ada solusi terselesaikan.

0 comments:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲