chadvice.files.wordpress.com/
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala,
Surabaya
Perbedaan masih seringkali memicu konflik, bahkan konflik
berdarah, di masyarakat kita. Perbedaan suku, ras, agama, dan cara hidup
seringkali menajamkan prasangka yang berujung pada kekerasan antar manusia.
Feodalisme politik masih tercium di udara. Orang menjadi penguasa bukan karena
kemampuan nyatanya, melainkan karena kedekatannya dengan kekuasaan yang ada,
dan kemampuannya melakukan manuver-manuver politis yang penuh tipu daya semata.
Di sisi lain, banyak kebijakan lahir dari mekanisme-mekanisme
yang rahasia dan tidak masuk akal, seperti kebijakan Ditjen DIKTI yang secara
tiba-tiba mengeluarkan aturan tentang penerbitan dan publikasi jurnal ilmiah di
Indonesia, sampai dengan perpindahan tiba-tiba Angelina Sondakh, tersangka
kasus korupsi, ke salah satu komisi di DPR yang mengurus anggaran. Pada saat
yang sama, mayoritas rakyat dibuai dengan konsumsi, dan lupa tanggung jawab
mereka sebagai warga negara untuk mengawasi kekuasaan. Barang-barang hasil
produksi sistem ekonomi kapitalisme menutup mata mereka dari kebenaran “hitam”
politis yang sebenarnya terpampang di depan mata.
Di titik ini, pada hemat saya, kita perlu menegaskan kembali
komitmen kita pada terciptanya masyarakat demokratis di Indonesia, dan
memperdalam pengetahuan kita tentang demokrasi tersebut. Sebagai sistem tata
kelola politik, demokrasi pada dasarnya adalah tata kelola masyarakat dengan
menjadikan kepentingan rakyat (demos) sebagai fokus utamanya. Asumsi dasarnya
adalah, bahwa rakyat merupakan penguasa (kratos=kekuasaan) utama dari negara.
Ukuran dari keberhasilan demokrasi sebagai tata kelola
masyarakat adalah, sejauh mana kebijakan dan praktek politik yang ada
menyumbang pada terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh, atau sebanyak
mungkin, rakyat. Jika itu tidak tercapai, maka pemerintah yang berkuasa harus
segera dicopot, dan diganti dengan pemerintah (partai) yang lain.
Pada hemat saya, demokrasi memiliki empat pilar yang
menyangganya. Dengan kata lain, berhasil atau tidaknya demokrasi dapat diukur
secara kurang lebih obyektif dari keberadaan empat pilar itu dalam masyarakat.
Empat pilar tersebut adalah kemampuan mengelola perbedaan secara sehat (1),
tidak adanya kekuasaan politis yang bersifat mutlak (2), akuntabilitas serta
transparansi kekuasaan publik (3), dan partisipasi publik yang tinggi dari
setiap warganya (4).
Mengelola Perbedaan
Perbedaan adalah fakta hidup. Tidak ada pola hidup yang seragam.
Keseragaman adalah pemaksaan, dan pemaksaan adalah ciri penguasa otoriter dan
totaliter. Demokrasi tidak menyeragamkan kehidupan, melainkan memelihara dan
mengelola perbedaan, sehingga perbedaan menjadi energi dasar untuk menciptakan
keadilan dan kemakmuran bersama.
Maka di dalam masyarakat demokratis, perbedaan adalah sesuatu
yang dibanggakan, mulai dari perbedaan ras, suku, agama, golongan, paham
politik, perbedaan cara hidup, sampai dengan perbedaan selera. Semua itu
dikelola dengan prinsip fairness. Artinya segala persoalan dan keputusan
dibicarakan di dalam ruang publik yang bebas dan egaliter. Pihak yang
pemikirannya tidak diterima harus secara terbuka mengakui “kekalahannya”,
menjalankan apa yang sudah menjadi keputusan bersama, serta diberi kesempatan
untuk kembali mengajukan keberatannya di kesempatan-kesempatan publik yang
telah tersedia.
Di dalam masyarakat demokratis yang sehat, kita akan melihat
orang-orang yang berasal dari latar belakang dan ideologi yang berbeda bisa
hidup berdampingan. Konflik tetap ada, namun dikelola dengan prinsip fairness.
Keadilan dapat diakses oleh semua pihak, walaupun mereka miskin ataupun bagian
dari kelompok minoritas. Jika ini tidak ada, maka masyarakat tersebut belum
layak disebut sebagai masyarakat demokratis.
Tidak Ada Kekuasaan Mutlak
Di dalam masyarakat demokratis, kekuasaan politis bersifat
relatif. Artinya kekuasaan tersebut ada, selama ia masih berperan dalam
mengupayakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Jika ia dianggap
gagal dalam menjalankan misi tersebut, maka kekuasaan politis itu dicabut, dan
diberikan ke pihak lain yang lebih kompeten. Kekuasaan absolut yang dapat kita
temukan pada pemerintahan monarki dan totaliter tidak berlaku di dalam
pemerintahan demokratis.
Hal ini berlaku mulai dari pemerintahan politis pusat, sampai
dengan tata kelola pemerintahan terkecil, yakni pada level RT dan RW. Di dalam
semua bentuk kekuasaan politis tersebut, ada satu ciri yang sama, bahwa
semuanya bersifat temporal dan relatif pada kinerja dari kekuasaan tersebut.
Dapat juga dikatakan bahwa kultur meritokrasi, di mana yang terbaiklah yang
akan memimpin, meresap ke dalam berbagai struktur maupun institusi politik yang
ada.
Prinsip fairness juga meresap ke dalam pelbagai institusi yang
ada. Fairness menjadi kultur, dan bukan sesuatu yang asing. Artinya seorang
penguasa bisa dengan lapang dada meninggalkan pos politiknya, jika ia memang
terbukti secara definitif gagal dalam menjalankan tugasnya. Tidak ada drama
politik yang biasanya muncul, karena seorang penguasa dicopot dari jabatan
politisnya.
Akuntabilitas dan Transparansi
Di dalam pemerintahan monarki absolut ataupun totaliter,
aspek-aspek kekuasaan adalah sesuatu yang rahasia. Bahkan dapatlah dikatakan,
bahwa seluruh fondasi politis adalah rahasia, terutama soal taktik merebut dan
mempertahankan kekuasaan politis. Karena rahasia berkuasa, maka
ketidakpercayaan menjadi atmosfer hidup bersama. Masyarakat hidup dan bergerak
dengan rasa curiga dan prasangka.
Masyarakat demokratis menjauh dari politik rahasia semacam itu.
Transparansi, atau keterbukaan, adalah ciri utama politik demokrasi. Proses
pembuatan kebijakan dibuat dengan proses-proses publik yang melibatkan semua
pihak yang nantinya terkena dampak dari kebijakan tersebut. Tujuan dari
keterbukaan ini adalah pertanggungjawaban kekuasaan terhadap orang-orang yang telah
memberikan kekuasaan tersebut, yakni rakyat itu sendiri. Akuntabilitas dan
transparansi politik adalah ciri utama dari kekuasaan demokratis.
Hal ini, sekali lagi, berlaku dari mulai kekuasaan politik di
pusat negara, sampai dengan level RT dan RW. Contohnya kas kolektif RT dan RW
dibuat transparan, artinya dapat diakses oleh setiap orang yang tinggal di RT
dan RW tersebut. Kas itu juga dibuat laporan pertanggungjawaban secara berkala,
terutama soal penggunaannya. Proses-proses pemilihan dan pola kerja ketua RT/RW
serta jajaran di bawahnya juga dibuat terbuka, dan diberikan pertanggungjawaban
yang benar secara berkala. Jika ini tidak ada, maka demokrasi pun juga tidak
ada.
Partisipasi yang Bergairah
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Sebagai penguasa, rakyat haruslah cerdas dan kritis di dalam
menjalankan dan mengawasi gerak roda politik. Rakyat harus secara cerdas,
kritis, dan bergairah ambil bagian dari menjalankan dan mengawasi roda
kekuasaan di masyarakat demokratis. Hanya dengan begitu, masyarakat akan
terhindar dari segala bentuk kekuasaan absolut yang seringkali mengatasnamakan
demokrasi, tetapi sebenarnya bermotivasi totaliter dan otoriter.
Semua itu dapat diukur secara kuantitatif dari seberapa banyak
rakyat yang aktif di organisasi masyarakatnya, seberapa banyak yang mengikuti
pemilu, dan seberapa banyak yang berpartisipasi aktif dalam partai politik.
Dasar dari semua itu adalah kepercayaan dasar, bahwa partisipasi aktif di dalam
kehidupan bermasyarakat akan memberikan keuntungan yang nyata bagi semua, yakni
keadilan dan kemakmuran bagi semua. Jika mayoritas rakyat masih bersikap masa
bodoh, dan merasa pesimis dengan kehidupan politik masyarakatnya, maka
demokrasi belumlah menjadi mentalitas sekaligus sistem yang nyata di masyarakat
tersebut.
Jelas sekali, bahwa empat
pilar demokrasi di atas belum secara nyata terwujud di Indonesia. Musuh-musuh
demokrasi, seperti kemiskinan, kebodohan, sikap tak peduli, feodalisme,
konsumtivisme, fanatisme dan fundamentalisme sempit, serta politik rahasia
(persekongkolan) masih memiliki pengaruh dan kekuatan besar di Indonesia.
Sebagai warga negara Indonesia yang demokratis, kita perlu untuk melawan
musuh-musuh demokrasi tersebut dengan gigih. Hanya dengan begitu, kita bisa
sungguh mewujudkan masyarakat demokratis yang mampu membersumber : http://rumahfilsafat.com/2012/03/03/empat-pilar-demokrasi-untuk-indonesia/
0 comments:
Posting Komentar