UPAYA PENCEGAHAN KORUPSI

| Minggu, 06 Mei 2012

Optimalisasi Asas Kepentingan Umum, Keterbukaan, 
dan Akuntabilitas Dalam Upaya Pencegahan Korupsi

Vera W. Soemarwi, SH, LL.M 


Perang melawan korupsi dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat telah ditetapkan oleh Indonesia sebagai agenda nasional sejak tahun 1998. Namun, sejauh ini, pelaksanaan fungsi kontrol sosial masyarakat belum melembaga. Agar fungsi kontrol itu melembaga maka diperlukan beberapa tindakan praktis seperti mengikutsertakan masyarakat dalam pembahasan rencana kerja legislatif dan eksekutif dan penentuan rencana anggaran pendapatan dan belanja Negara (RAPBN). Keterlibatan masyarakat itu diperlukan demi terlaksananya perang melawan korupsi dan upaya-upaya pencegahan korupsi. Peran serta masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan korupsi diatur didalam Pasal 10 jo Pasal 13 UU No 7 Tahun 2006[i].

Dalam perang melawan korupsi Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan penunjang diantaranya adalah UU No 28 Tahun 1999[ii]. Menurut undang-undang ini, yang dimaksud dengan penyelenggara negara yang bersih adalah penyelenggara negara yang mentaati asas-asas umum penyelenggaraan negara[iii]. Pasal 3 undang-undang ini menetapkan beberapa asas umum penyelenggaraan negara itu diantaranya adalah asas kepentingan umum, asas keterbukaan, dan asas akuntabilitas.

Apa yang dimaksud dengan ketiga asas tersebut? Sudahkah penyelenggara negara melaksanakan ketiga asas tersebut dalam berbagai kebijakan publik dan pelaksanaannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, menarik jika dicermati pelaksanaan fungsi DPR sebagai salah satu lembaga penyelenggara negara di Republik ini.


DPR yang diwakili oleh Badan Anggaran (Banggar) memiliki fungsi penting untuk membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk mendanai rencana kerja, program dan kegiatan kementerian/lembaga negara[iv]. Fungsi lainnya adalah sinkronisasi dan penetapan usulan penggunaan dana alokasi khusus untuk program-program yang diajukan oleh komisi beserta kementerian/lembaga terkait[v].

Fungsi-fungsi yang diemban oleh Banggar merupakan fungsi utama dalam menentukan kelangsungan kesejahteraan publik. Apabila Banggar dalam melaksanakan fungsinya melakukan penyimpangan kewenangan maka kesejahteraan publik sulit terwujud. Makanya, agar tidak terjadi penyimpangan, Banggar harus menghayati asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bersih. Apabila diabaikan, maka tindakan mereka dapat diindikasikan sebagai penyimpangan tugas dan tanggungjawabnya yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Tercatat dalam beberapa kasus penyimpangan kewenangan yang melibatkan sejumlah elit di DPR seperti Saleh Djasit (Partai Golkar, 2004-2009), Al Amin Nur Nasution (Partai Persatuan Pembangunan, 2004-2009), Abdul Hadi Djamal (Partai Amanat Nasional 2004-2009), Azwar Chesputra (Partai Golkar 2004-2009), Hilman Indra (Partai Bulan Bintang 2004-2009), Fachri Andi Leluasa (Partai Golkar 2004-2009), Endin J Soefihara (PPP 1999-2004), Dudhie Makmun Murod (PDI-P 1999-2004), Hamka Yandhu (Partai Golkar 1999-2004), Djufri (Partai Demokrat 2009-2014), Amrun Daulay (Partai Demokrat 2009-2014)[vi].

Berkaca dari berbagai kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa manipulasi anggaran pembiayaan proyek dapat dengan leluasa terjadi karena tidak adanya kontrol publik yang melembaga dalam perencanaan anggaran negara. Dari kasus-kasus yang terjadi, patut diduga pula bahwa para elit di DPR dalam menentukan pembiayaan proyek-proyek di kementerian maupun di lembaga negara tidak mengacu pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik.

Dalam menentukan alokasi anggaran, DPR cenderung tidak berorientasi pada kesejahteraan publik, melainkan keberpihakannya pada kepentingan pribadi dan golongannya. Terlebih, DPR dalam menetapkan rencana anggaran untuk pembiayaan program dan kegiatan di berbagai kementerian maupun lembaga negara tidak melibatkan masyarakat.

Padahal, sebagaimana diamanatkan UU No 28/1999 Bab VI, keterlibatan dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan sekaligus tanggungjawab masyarakat demi terwujudnya penyelenggara negara yang bersih[vii]. Berdasarkan mandat undang-undang tersebut masyarakat harus dilibatkan dalam penentuan program/kegiataan serta alokasi dana untuk pembiayaan program/kegiatan maupun proyek.

Rapat dengar pendapat dengan masyarakat, kementerian dan komisi terkait maupun Banggar perlu diadakan untuk menampung aspirasi dan mengakomodasi pendapat-pendapat publik apakah rencana program-program kerja maupun kegiatan di berbagai kementerian/lembaga sudah tepat sasaran dan tepat guna? Apakah rencana pembiayaan program/kegiatan maupun proyek-proyek lainnya sudah sesuai dan pantas dengan harga yang berlaku di masyarakat?

Rapat dengar pendapat ini sebaiknya dilaksanakan sebelum pemerintah dan komisi terkait menentukan rencana kerja dan pembiayaan kementerian/lembaga. Disamping hak untuk terlibat dalam perencanaan masyarakat juga mempunyai hak untuk terlibat dalam pelaksanaannya dengan cara memonitor pelaksanaan proyek/program/kegiatan di kementerian/lembaga terkait.

Proses penentuan rencana APBN tidak berdasarkan pada kriteria yang berpihak pada publik. Rencana anggaran pembiayaan program kementerian/lembaga kurang tepat sasaran dan tepat guna sehingga tujuan program yang seharusnya untuk kesejahteraan umum tidak tercapai[viii]. Sebagai contoh keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan disesuaikan dengan melonjaknya harga bahan bakar minyak dunia. Bila DPR menyetujui kenaikan harga BBM jelas dampak kenaikan harga ini akan berimbas pada sektor-sektor lainnya seperti transportasi dan harga kebutuhan dasar pun akan meningkat. Beban peningkatan kebutuhan dasar akan memiskinkan sebagian besar warga Indonesia, utamanya mereka yang berpenghasilan di bawah upah minimum regional (UMR).

Keputusan penyelenggara negara seperti keputusan akan menaikkan harga BBM ini bila tidak melibatkan masyarakat dalam dengar pendapat antara komisi dengan pemerintah terkait dan tidak mengakomodasi keberatan serta aspirasi masyarakat maka keputusan ini dinilai tidak memenuhi asas kepentingan umum serta melanggar pasal 9 (1) huruf c UU No 28/1999 jo pasal 13 UU No 7/2006[ix]. Sedangkan menurut Penjelasan UU No 28/1999 Pasal 3 asas kepentingan umum harus mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

Mengacu pada asas kepentingan umum ini seharusnya DPR menolak kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga dasar BBM karena kebijakan pemerintah tersebut tidak berpihak pada kesejahteraan publik. Beban hidup yang saat ini dialami oleh warga Indonesia akan semakin meningkat. Bila kebijakan tersebut diambil dikawatirkan kerawanan sosial dan keamanan nasional akan terancam seperti yang dialami di negara Yaman yang menentang Presiden Ali Abdullah Saleh[x]. Tidak tertutup kemungkinan Indonesia mengalami konflik sosial seperti di Yaman karena dengan maraknya kasus-kasus korupsi; penyimpangan kekuasaan di berbagai kementerian dan lembaga negara yang melibatkan sejumlah kalangan elit politik di legislatif dan eksekutif serta pelaku usaha; dan potret-potret kemiskinan masih marak di berbagai daerah di Indonesia karena perolehan kekayaan negara hanya dinikmati oleh sebagian elit politik dan ekonomi.

Keraguan publik terhadap kebijakan penyelengara negara dalam memberantas korupsi semakin diperburuk dengan keputusan Banggar yang merenovasi ruang rapat dengan nilai Rp20 miliar yang dilengkapi dengan fasilitas ruang kedap suara[xi]. Kebijakan ini dinilai oleh publik pemborosan anggaran negara dan menutup akses keterlibatan publik untuk menyampaikan aspirasi dan terlibat dalam penentuan kebijakan publik serta memonitor penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Berpijak pada asas keterbukaan yang mewajibkan seluruh penyelenggara negara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif[xii]. Keraguan publik itu sangat beralasan karena Banggar tidak menerapkan asas keterbukaan.

Kesan lainnya, Banggar terkesan tidak mau dimonitor oleh masyarakat khususnya dalam penentuan pembiayaan program dan proyek-proyek negara. Akses publik untuk ikut terlibat langsung dalam penyelenggaraan negara, memonitor kebijakan publik, dan mendapatkan informasi yang benar dengan secara sadar telah ditutup oleh Banggar. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan asas keterbukaan. Banggar dapat diduga telah menghambat agenda nasional dalam memberantas korupsi di jajaran eksekutif dan legislatif. Apa yang dapat warga Indonesia lakukan untuk mengembalikan haknya dalam berperan aktif dan memonitor tingkah laku para elit dalam mengambil kebijakan publik?

Dalam upaya untuk mengembalikan haknya yang telah ditutup oleh Banggar, warga Indonesia dapat melakukan gerakan publik. Gerakan publik ini untuk menuntut keterlibatannya dalam berbagai pembahasan dan penentuan rencana kerja, rencana pembiayaan program dan proyek negara disetiap rapat-rapat yang diadakan baik oleh Banggar maupun komisi bersama dengan kementerian terkait. Keterlibatan publik dalam pembahasan rencana pembiayaan merupakan pintu masuk untuk mencegah terjadinya manipulasi pembiayaan proyek. Merupakan hak warga Indonesia yang telah dilindungi oleh undang-undang untuk menuntut transparansi DPR dalam rapat pembahasan rencana pembiayaan program dan proyek negara.

Tindakan DPR yang dapat dilakukan dalam rangka transparansi kebijakan publik adalah mengundang Dewan Perwakilan Daerah (DPD), organisasi masyarakat, para professional, akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan pers untuk hadir dalam rapat pembahasan RAPBN. Mereka diminta terlibat secara aktif dalam menentukan program/proyek/kegiatan dan alokasi anggarannya yang tepat guna dan tepat sasaran bagi warga Indonesia. Setelah penentuan program dan alokasi anggaran warga Indonesia juga memiliki akses yang luas untuk memonitor pelaksanaan dan penyelesaian program. Dengan demikian kita dapat mengurangi kemungkinan manipulasi anggaran dan pencegahan korupsi di jajaran eksekutif dan legislatif dapat terlaksana.

Dengan terciptanya transparansi kebijakan publik melalui penerapan asas kepentingan umum dan keterbukaan seperti yang diuraikan diatas secara langsung asas akuntabilitas dapat terpenuhi. Asas akuntabilitas menurut Penjelasan UU No 28/1999 Pasal 3 adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena dalam setiap penentuan kebijakan publik telah mengikutsertakan publik dalam perencanaan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Dapat disimpulkan bahwa dengan diabaikannya asas kepentingan umum, keterbukaan dan akuntabilitas oleh eksekutif dan legislatif maka penyelenggaraan Indonesia yang bersih belum dapat terlaksana. Untuk itu maka  membuka pintu-pintu dalam setiap rapat pembahasan dan penentuan rencana APBN kepada masyarakat Indonesia artinya eksekutif dan legislatif menjalankan ketiga asas tersebut dalam penentuan kebijakan publik. Dengan demikian tujuan Indonesia menetapkan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme bukan sekedar wacana saja tetapi menjadi tindakan nyata demi terciptanya tujuan bersama.

Penggunaan anggaran negara tepat guna dan tepat sasaran untuk kesejahteraan seluruh elemen masyarakat dapat tercipta. Kedepannya wajah-wajah kemiskinan yang dapat kita lihat dewasa ini di berbagai daerah dapat kita ganti dengan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Tindakan pencegahan korupsi itu dimungkinkan kita laksanakan tinggal pelaksaannya dan itikat kita bersama untuk menjalankan transparansi kebijakan publik.

[i]Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi Anti Korupsi 2003” dalam Himpunan Peraturan Tentang Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, Januari 2007), h. 32
[ii]Republik Indonesia “Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme” dalam Himpunan Peraturan Tentang Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, Januari 2007), h. 232
[iii]Ibid., 2, Pasal 1 (2).
[iv]Republik Indonesia, Tata Tertib DPR-RI, Bab VII, Pasal 155.
[v]Ibid., 3,Pasal 156 ayat (3).
[vi]Sumber Litbang “Kompas”/YOG, diubah dari pemberitaan “Kompas’, dipublikasi Kompas No 231 Tahun ke-47, 24 Februari 2012, h. 3.
[vii]Ibid., 2, Pasal 8 (1) jo Ibid., 1, Pasal 13 (1).
[viii]LAS, “Belanja Layak Dipotong”, Kompas No 234 Tahun ke-47, 27 Februari 2012, hal. 17.
[ix]Ibid., 2, Pasal 9 (1) huruf c, “hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara” jo ibid., 1, Pasal 13(1) “…meningkatkan partisipasi aktif perorangan dan kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat sipil, organisasi-organisasi non-pemerintah dan organisasi-organisasi berbasis masyarakat, dalam pencegahan dari dan perlawanan terhadap korupsi dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat…”.
[x]“Presiden Yaman menandatangani kesepakatan mundur”, BBC Indonesia, 24 November 2011, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/11/111124_salehresign.shtml
[xi]Kusumadewi A., Adam Muhammad, “Ruang Rapat Rp. 20 M Atas Usul 4 Anggota DPR”, vivanews.com,17 Januari 2012, http://politik.vivanews.com/news/read/280759-ruang-rapat-rp20-m-atas-usul-4-anggota-dpr
[xii]Penjelasan Pasal 3 UU No 28/1999.

*Praktisi dan Pengamat Hukum

0 comments:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲