Optimalisasi Asas Kepentingan Umum, Keterbukaan,
dan Akuntabilitas
Dalam Upaya Pencegahan Korupsi
Vera W. Soemarwi, SH, LL.M
Perang
melawan korupsi dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat telah ditetapkan
oleh Indonesia sebagai agenda nasional sejak tahun 1998. Namun, sejauh ini, pelaksanaan
fungsi kontrol sosial masyarakat belum melembaga. Agar fungsi kontrol itu
melembaga maka diperlukan beberapa tindakan praktis seperti mengikutsertakan
masyarakat dalam pembahasan rencana kerja legislatif dan eksekutif dan
penentuan rencana anggaran pendapatan dan belanja Negara (RAPBN). Keterlibatan
masyarakat itu diperlukan demi terlaksananya perang melawan korupsi dan
upaya-upaya pencegahan korupsi. Peran serta masyarakat dalam upaya-upaya
pencegahan korupsi diatur didalam Pasal 10 jo Pasal 13 UU No 7 Tahun 2006[i].
Dalam perang
melawan korupsi Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan penunjang
diantaranya adalah UU No 28 Tahun 1999[ii]. Menurut undang-undang ini, yang
dimaksud dengan penyelenggara negara yang bersih adalah penyelenggara negara
yang mentaati asas-asas umum penyelenggaraan negara[iii]. Pasal 3 undang-undang
ini menetapkan beberapa asas umum penyelenggaraan negara itu diantaranya adalah
asas kepentingan umum, asas keterbukaan, dan asas akuntabilitas.
Apa yang
dimaksud dengan ketiga asas tersebut? Sudahkah penyelenggara negara
melaksanakan ketiga asas tersebut dalam berbagai kebijakan publik dan
pelaksanaannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, menarik jika
dicermati pelaksanaan fungsi DPR sebagai salah satu lembaga penyelenggara
negara di Republik ini.
DPR yang
diwakili oleh Badan Anggaran (Banggar) memiliki fungsi penting untuk membahas
dan menetapkan alokasi anggaran untuk mendanai rencana kerja, program dan
kegiatan kementerian/lembaga negara[iv]. Fungsi lainnya adalah sinkronisasi dan
penetapan usulan penggunaan dana alokasi khusus untuk program-program yang
diajukan oleh komisi beserta kementerian/lembaga terkait[v].
Fungsi-fungsi
yang diemban oleh Banggar merupakan fungsi utama dalam menentukan kelangsungan
kesejahteraan publik. Apabila Banggar dalam melaksanakan fungsinya melakukan
penyimpangan kewenangan maka kesejahteraan publik sulit terwujud. Makanya, agar
tidak terjadi penyimpangan, Banggar harus menghayati asas-asas umum penyelenggaraan
negara yang bersih. Apabila diabaikan, maka tindakan mereka dapat diindikasikan
sebagai penyimpangan tugas dan tanggungjawabnya yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Tercatat
dalam beberapa kasus penyimpangan kewenangan yang melibatkan sejumlah elit di
DPR seperti Saleh Djasit (Partai Golkar, 2004-2009), Al Amin Nur Nasution
(Partai Persatuan Pembangunan, 2004-2009), Abdul Hadi Djamal (Partai Amanat
Nasional 2004-2009), Azwar Chesputra (Partai Golkar 2004-2009), Hilman Indra
(Partai Bulan Bintang 2004-2009), Fachri Andi Leluasa (Partai Golkar
2004-2009), Endin J Soefihara (PPP 1999-2004), Dudhie Makmun Murod (PDI-P
1999-2004), Hamka Yandhu (Partai Golkar 1999-2004), Djufri (Partai Demokrat
2009-2014), Amrun Daulay (Partai Demokrat 2009-2014)[vi].
Berkaca dari
berbagai kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa manipulasi anggaran pembiayaan
proyek dapat dengan leluasa terjadi karena tidak adanya kontrol publik yang
melembaga dalam perencanaan anggaran negara. Dari kasus-kasus yang terjadi,
patut diduga pula bahwa para elit di DPR dalam menentukan pembiayaan
proyek-proyek di kementerian maupun di lembaga negara tidak mengacu pada
asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik.
Dalam
menentukan alokasi anggaran, DPR cenderung tidak berorientasi pada
kesejahteraan publik, melainkan keberpihakannya pada kepentingan pribadi dan
golongannya. Terlebih, DPR dalam menetapkan rencana anggaran untuk pembiayaan
program dan kegiatan di berbagai kementerian maupun lembaga negara tidak
melibatkan masyarakat.
Padahal,
sebagaimana diamanatkan UU No 28/1999 Bab VI, keterlibatan dalam
penyelenggaraan negara merupakan hak dan sekaligus tanggungjawab masyarakat
demi terwujudnya penyelenggara negara yang bersih[vii]. Berdasarkan mandat
undang-undang tersebut masyarakat harus dilibatkan dalam penentuan
program/kegiataan serta alokasi dana untuk pembiayaan program/kegiatan maupun
proyek.
Rapat dengar
pendapat dengan masyarakat, kementerian dan komisi terkait maupun Banggar perlu
diadakan untuk menampung aspirasi dan mengakomodasi pendapat-pendapat publik
apakah rencana program-program kerja maupun kegiatan di berbagai
kementerian/lembaga sudah tepat sasaran dan tepat guna? Apakah rencana
pembiayaan program/kegiatan maupun proyek-proyek lainnya sudah sesuai dan pantas
dengan harga yang berlaku di masyarakat?
Rapat dengar
pendapat ini sebaiknya dilaksanakan sebelum pemerintah dan komisi terkait
menentukan rencana kerja dan pembiayaan kementerian/lembaga. Disamping hak
untuk terlibat dalam perencanaan masyarakat juga mempunyai hak untuk terlibat
dalam pelaksanaannya dengan cara memonitor pelaksanaan proyek/program/kegiatan
di kementerian/lembaga terkait.
Proses
penentuan rencana APBN tidak berdasarkan pada kriteria yang berpihak pada
publik. Rencana anggaran pembiayaan program kementerian/lembaga kurang tepat
sasaran dan tepat guna sehingga tujuan program yang seharusnya untuk
kesejahteraan umum tidak tercapai[viii]. Sebagai contoh keputusan pemerintah
untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan disesuaikan dengan
melonjaknya harga bahan bakar minyak dunia. Bila DPR menyetujui kenaikan harga
BBM jelas dampak kenaikan harga ini akan berimbas pada sektor-sektor lainnya
seperti transportasi dan harga kebutuhan dasar pun akan meningkat. Beban
peningkatan kebutuhan dasar akan memiskinkan sebagian besar warga Indonesia,
utamanya mereka yang berpenghasilan di bawah upah minimum regional (UMR).
Keputusan
penyelenggara negara seperti keputusan akan menaikkan harga BBM ini bila tidak
melibatkan masyarakat dalam dengar pendapat antara komisi dengan pemerintah
terkait dan tidak mengakomodasi keberatan serta aspirasi masyarakat maka
keputusan ini dinilai tidak memenuhi asas kepentingan umum serta melanggar
pasal 9 (1) huruf c UU No 28/1999 jo pasal 13 UU No 7/2006[ix]. Sedangkan
menurut Penjelasan UU No 28/1999 Pasal 3 asas kepentingan umum harus
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan
selektif.
Mengacu pada
asas kepentingan umum ini seharusnya DPR menolak kebijakan pemerintah untuk
menaikkan harga dasar BBM karena kebijakan pemerintah tersebut tidak berpihak
pada kesejahteraan publik. Beban hidup yang saat ini dialami oleh warga
Indonesia akan semakin meningkat. Bila kebijakan tersebut diambil dikawatirkan
kerawanan sosial dan keamanan nasional akan terancam seperti yang dialami di
negara Yaman yang menentang Presiden Ali Abdullah Saleh[x]. Tidak tertutup
kemungkinan Indonesia mengalami konflik sosial seperti di Yaman karena dengan
maraknya kasus-kasus korupsi; penyimpangan kekuasaan di berbagai kementerian
dan lembaga negara yang melibatkan sejumlah kalangan elit politik di legislatif
dan eksekutif serta pelaku usaha; dan potret-potret kemiskinan masih marak di
berbagai daerah di Indonesia karena perolehan kekayaan negara hanya dinikmati
oleh sebagian elit politik dan ekonomi.
Keraguan
publik terhadap kebijakan penyelengara negara dalam memberantas korupsi semakin
diperburuk dengan keputusan Banggar yang merenovasi ruang rapat dengan nilai
Rp20 miliar yang dilengkapi dengan fasilitas ruang kedap suara[xi]. Kebijakan
ini dinilai oleh publik pemborosan anggaran negara dan menutup akses
keterlibatan publik untuk menyampaikan aspirasi dan terlibat dalam penentuan
kebijakan publik serta memonitor penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas-tugas
mereka. Berpijak pada asas keterbukaan yang mewajibkan seluruh penyelenggara
negara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur dan tidak diskriminatif[xii]. Keraguan publik itu sangat beralasan
karena Banggar tidak menerapkan asas keterbukaan.
Kesan
lainnya, Banggar terkesan tidak mau dimonitor oleh masyarakat khususnya dalam
penentuan pembiayaan program dan proyek-proyek negara. Akses publik untuk ikut
terlibat langsung dalam penyelenggaraan negara, memonitor kebijakan publik, dan
mendapatkan informasi yang benar dengan secara sadar telah ditutup oleh
Banggar. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan asas keterbukaan. Banggar
dapat diduga telah menghambat agenda nasional dalam memberantas korupsi di
jajaran eksekutif dan legislatif. Apa yang dapat warga Indonesia lakukan untuk
mengembalikan haknya dalam berperan aktif dan memonitor tingkah laku para elit
dalam mengambil kebijakan publik?
Dalam upaya
untuk mengembalikan haknya yang telah ditutup oleh Banggar, warga Indonesia
dapat melakukan gerakan publik. Gerakan publik ini untuk menuntut
keterlibatannya dalam berbagai pembahasan dan penentuan rencana kerja, rencana
pembiayaan program dan proyek negara disetiap rapat-rapat yang diadakan baik
oleh Banggar maupun komisi bersama dengan kementerian terkait. Keterlibatan
publik dalam pembahasan rencana pembiayaan merupakan pintu masuk untuk mencegah
terjadinya manipulasi pembiayaan proyek. Merupakan hak warga Indonesia yang
telah dilindungi oleh undang-undang untuk menuntut transparansi DPR dalam rapat
pembahasan rencana pembiayaan program dan proyek negara.
Tindakan DPR
yang dapat dilakukan dalam rangka transparansi kebijakan publik adalah mengundang
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), organisasi masyarakat, para professional,
akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan pers untuk hadir dalam rapat
pembahasan RAPBN. Mereka diminta terlibat secara aktif dalam menentukan
program/proyek/kegiatan dan alokasi anggarannya yang tepat guna dan tepat
sasaran bagi warga Indonesia. Setelah penentuan program dan alokasi anggaran
warga Indonesia juga memiliki akses yang luas untuk memonitor pelaksanaan dan
penyelesaian program. Dengan demikian kita dapat mengurangi kemungkinan
manipulasi anggaran dan pencegahan korupsi di jajaran eksekutif dan legislatif
dapat terlaksana.
Dengan
terciptanya transparansi kebijakan publik melalui penerapan asas kepentingan
umum dan keterbukaan seperti yang diuraikan diatas secara langsung asas
akuntabilitas dapat terpenuhi. Asas akuntabilitas menurut Penjelasan UU No
28/1999 Pasal 3 adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena dalam
setiap penentuan kebijakan publik telah mengikutsertakan publik dalam
perencanaan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dapat
disimpulkan bahwa dengan diabaikannya asas kepentingan umum, keterbukaan dan
akuntabilitas oleh eksekutif dan legislatif maka penyelenggaraan Indonesia yang
bersih belum dapat terlaksana. Untuk itu maka
membuka pintu-pintu dalam setiap rapat pembahasan dan penentuan rencana
APBN kepada masyarakat Indonesia artinya eksekutif dan legislatif menjalankan
ketiga asas tersebut dalam penentuan kebijakan publik. Dengan demikian tujuan
Indonesia menetapkan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme bukan sekedar wacana saja tetapi menjadi tindakan nyata demi
terciptanya tujuan bersama.
Penggunaan
anggaran negara tepat guna dan tepat sasaran untuk kesejahteraan seluruh elemen
masyarakat dapat tercipta. Kedepannya wajah-wajah kemiskinan yang dapat kita
lihat dewasa ini di berbagai daerah dapat kita ganti dengan kemakmuran dan
kesejahteraan bersama. Tindakan pencegahan korupsi itu dimungkinkan kita
laksanakan tinggal pelaksaannya dan itikat kita bersama untuk menjalankan
transparansi kebijakan publik.
[i]Republik
Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi
Anti Korupsi 2003” dalam Himpunan Peraturan Tentang Korupsi (Jakarta: Sinar
Grafika, Januari 2007), h. 32
[ii]Republik Indonesia “Undang-Undang RI Nomor 28
Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme” dalam Himpunan Peraturan Tentang Korupsi (Jakarta: Sinar
Grafika, Januari 2007), h. 232
[iii]Ibid., 2, Pasal 1 (2).
[iv]Republik Indonesia, Tata Tertib DPR-RI, Bab VII,
Pasal 155.
[v]Ibid., 3,Pasal 156 ayat (3).
[vi]Sumber Litbang “Kompas”/YOG, diubah dari
pemberitaan “Kompas’, dipublikasi Kompas No 231 Tahun ke-47, 24 Februari 2012,
h. 3.
[vii]Ibid., 2, Pasal 8 (1) jo Ibid., 1, Pasal 13
(1).
[viii]LAS, “Belanja Layak Dipotong”, Kompas No 234
Tahun ke-47, 27 Februari 2012, hal. 17.
[ix]Ibid., 2, Pasal 9 (1) huruf c, “hak menyampaikan
saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara
Negara” jo ibid., 1, Pasal 13(1) “…meningkatkan partisipasi aktif perorangan
dan kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat sipil,
organisasi-organisasi non-pemerintah dan organisasi-organisasi berbasis
masyarakat, dalam pencegahan dari dan perlawanan terhadap korupsi dan
meningkatkan kewaspadaan masyarakat…”.
[x]“Presiden Yaman menandatangani kesepakatan
mundur”, BBC Indonesia, 24 November 2011,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/11/111124_salehresign.shtml
[xi]Kusumadewi A., Adam Muhammad, “Ruang Rapat Rp.
20 M Atas Usul 4 Anggota DPR”, vivanews.com,17 Januari 2012,
http://politik.vivanews.com/news/read/280759-ruang-rapat-rp20-m-atas-usul-4-anggota-dpr
[xii]Penjelasan Pasal 3 UU No 28/1999.
*Praktisi dan Pengamat Hukum
0 comments:
Posting Komentar