Pentingnya Undang-Undang Penanganan
Konflik Sosial
Misi
mewujudkan Indonesia Aman dan Damai didasarkan pada permasalahan bahwa
Indonesia masih rawan dengan konflik. Konflik komunal dengan kekerasan (Konflik
Sosial) yang selanjutnya disingkat Konflik, merupakan fenomena yang menandai
perjalanan bangsa Indonesia sejak memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945
sampai dengan proses transisi demokrasi di Indonesia bersamaan dengan
bergulirnya orde reformasi tahun 1998. Banyak faktor kondisi sosial, ekonomi,
demografis yang dapat memicu munculnya konflik-konflik tersebut.
Keanekaragaman
suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 230
juta jiwa, pada satu sisi merupakan
suatu kekayaan bangsa yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesajahteraan masyarakat.
Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat membawa dampak buruk bagi
kehidupan nasional, apabila terdapat kondisi ketimpangan pembangunan,
ketidakadilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, kemiskinan serta dinamika
kehidupan politik yang tidak terkendali
seperti dalam pelaksanaan pemilihan legislatif, presiden dan wakil
presiden, dan pemilihan kepala daerah.
Transisi
demokrasi dalam tatanan dunia yang semakin terbuka mengakibatkan semakin cepatnya dinamika
sosial, termasuk faktor intervensi asing. Kondisi-kondisi tersebut menempatkan
Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan konflik, baik konflik
horisontal maupun vertikal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, menciptakan
rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa
dan trauma psikologis (dendam, kebencian dan perasaan permusuhan), sehingga
menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Sesuai dengan tipologi konflik yang
terjadi selama ini, sistem penanganan konflik yang dikembangkan lebih mengarah
kepada penanganan yang bersifat militeristik/represif.
Argumentasi Pembentukan RUU PKS
Argumentasi
Filosofis dalam RUU PKS adalah pertama, memberikan jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa diganggu
akibat perbedaan pendapat atau konflik yang terjadi di antarkelompok dan
golongan. Kedua, Tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama dan budaya dan seluruh
tumpah darah Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari
rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketiga,
Tanggungjawab negara memberikan
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi melalui upaya
penciptaan suasana yang aman, tentram, damai dan sejahtera lahir maupun batin
sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta hak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya. Bebas dari rasa takut, jaminan terhadap hak hidup
secara aman, damai, adil dan sejahtera.
Argumentasi
Sosiologis dari Pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik didasarkan pada
keanekaragam suku bangsa, agama dan budaya yang masih diwarnai ketimpangan
pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, politik, kemiskinan
berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik di tengah masyarakat. Indonesia
yang sedang mengalami transisi demokrasi dan pemerintahan membuka peluang bagi munculnya gerakan
radikalisme di dalam negeri pada satu
sisi, dan pada sisi lain hidup dalam
tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh-pengaruh asing, sangat rawan dan berpotensi menimbulkan
konflik. Kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan yang semakin
terbatas dapat menimbulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan, maupun
karena kelemahanan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan
kepentingan masyarakat setempat.
Sedangkan
argumentasi yuridis pembentukan Undang-Undang Penanganan Konflik
adalah menggambarkan faktor-faktor kelemahan peraturan perundang-undangan yang
mengakibatkan kurang efektifnya kebijakan penanganan konflik di Indonesia
selama ini. Beberapa faktor kelemahan peraturan perundang-undangan penanganan
konflik tersebut, adalah:
Pertama,
Beberapa undang-undang yang terkait dengan penanganan konflik mengedepankan ego
sektoral, sehingga dalam implementasinya masing-masing departemen, dan
pemerintah daerah berjalan sendiri-sendiri. Sistem yang demikian, tidak menggambarkan manajemen konflik yang terkoordinasi dan
integratif dalam satu sistem penanganan konflik yang kuat. Pendekatan
penanganan konflik yang bersifat sektoral, menyebabkan peraturan menteri sangat
populer atau banyak ditemukan. Walaupun sering menimbulkan masalah karena
peraturan menteri yang satu dengan menteri yang lainnya tidak sejalan, bahkan
bertentangan.
Kedua,
Undang-undang yang ada bersifat sektoral, belum menetapkan secara jelas dan komprehensif mengenai
tindakan-tindakan serta tahap-tahap dalam penanganan konflik, baik dalam rangka
upaya pencegahan (preventif), maupun penanganan pada saat, dan sesudah konflik
(recovery). Karakter yang muncul dalam setiap peraturan tersebut adalah
bersifat reaktif, sehingga belum merupakan suatu kebijakan yang tersistematis
dan terukur.
Ketiga,
Sebagian besar peraturan yang ada bersifat operasional, reaktif, tanpa satu payung hukum yang kuat.
Langkah-langkah yang diambil hanya didasarkan pada kebijakan lembaga eksekutif
(pemerintah), baik Pemerintah Pusat maupun Daerah. Namun, dalam pelaksanaannya ada keraguan masing-masing
institusi karena setiap institusi mengacu kepada undang-undang yang berbeda.
Kondisi ini menggambarkan suatu peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan,
tidak konsisten/harmonis/sinkron, baik secara vertikal maupun horisontal. Demikian juga
lembaga-lembaga lain dalam penangan konflik, seperti DPR dan DPRD belum mendaptkan peran yang
signifikan dalam penanganan
konflik melalui bentuk regulasi yang menjadi kewenangannya, maupun melalui
kebijakan anggaran melalui sistem APBN dan ABPD. Sebagian peraturan dikeluarkan
dalam keputusan Presiden, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota. Sementara pada tahap
proses penegakan hukum; kapasitas anggota POLRI, Intelijen Negara dan Jaksa
dalam melacak, menemukan para pelaku atau aktor intelektual tindakan terorisme
atau kerusuhan belum menggembirakan.
Keempat,
dalam tahap saat terjadi konflik khususnya pada kegiatan penghentian konflik
kekerasan, undang-undang yang ada saat ini masih belum jelas mengatur tentang
tugas, tanggungjawab dan kewenangan dua institusi pertahanan dan keamanan
negara yaitu TNI dan POLRI. Sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan
pengaturan pengerahan tugas perbantuan TNI kepada POLRI dalam penghentian
konflik kekerasan.
Kelima,
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur
penanganan tiga jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana akibat kegagalan
teknologi, dan bencana sosial atau konflik, tidak mengatur secara tuntas dan
tidak memperhatikan karakteristik khusus penanganan konflik.
Arah dan Jangkauan Pengaturan
Arah
pengaturan penanganan konflik sosial dalam Undang-Undang adalah terbentuknya
suatu peraturan perundang-undangan penanganan konflik yang menjadi lex
spesialis dari penanggulangan bencana melalui perumusan yang lebih sesuai
dengan karakteristik konflik, serta menyatukan dan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi berbagai
ketentuan penanganan konflik dalam berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya. Dengan adanya Undang-Undang yang khusus ini, maka terbentuklah suatu peraturan perundang-undangan yang kuat
dan komprehensif bagi penanganan konflik di Indonesia.
Peraturan
perundang-undangan yang kuat adalah dalam bentuk Undang-Undang yang menjaga
harmonisasi dan sinkronisasi dengan undang-undang lain serta mengatur secara tegas dan detail mengenai
strategi dan pendekatan penanganan
konflik, tugas dan tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah berdasarkan
prinsip desentralisasi, peran serta masyarakat nasional dan internasional,
optimalisasi dan penghargaan terhadap
nilai-nilai lokal, penyediaan
dana yang memadai, reward dan punishment. Undang-undang ini juga membahas peran
dan tanggungjawab POLRI dalam penghentian konflik yang terjadi kekerasan fisik
dilakukan di bawah koordinasi Polri dan dilakukan sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku. Termasuk diatur tentang pengerahan dan
penggunaan kekuatan TNI.
Asas Penanganan Konflik Sosial
Asas-asas
yang tertuang dalam RUU PK menjadi spirit atau “roh” dari berbagai ketentuan
dalam kegiatan penanganan konflik ini. Oleh karena itu, asas-asas ini kemudian
terejahwantakan dalam rumusan pasal-pasal yang menjadi acuan dari pelaksanaan
penanganan konflik di Indonesia. Adapun asas-asas penting yang menjadi landasan
dari penanganan konflik sosial di Indonesia meliputi, Kemanusian; Kebangsaan;
Kekeluargaan; Bhinneka Tunggal Ika; Keadilan; Ketertiban dan kepastian hukum;
Keberlanjutan; Kearifan lokal.
Berbagai pihak baik dalam tahapan penghentian
kekerasan, rehabilitasi, rekonstruksi maupun pencegahan termasuk dalam
pilihan-pilihan penyelesaian konflik, kekakuan pendekatan mekanisme formal
harus dihindarkan dan senantiasa memperhatikan karakteristik dan kearifan lokal
termasuk dalam penyelesaian konflik, mekanisme lokal harus dijadikan bagian
dari upaya penanganan masalah konflik secara komprehensif.
Peran Serta Masyarakat dalam
Penyelesaian Konflik
Sejalan
dengan asas partisipasi, peran masyarakat dalam kegiatan penanganan konflik
sangat diperlukan. Hal ini sekaligus menjamin adanya akuntabilitas dan
transparasi dalam penangangan konflik. Untuk itu, Undang-undang ini menjamin
anggota masyarakat berperan sebagai pelaku pembangunan perdamaian, pelayanan
kebutuhan dasar, rekonstruksi dan rehabilitasi, dan menjadi anggota institusi
penanganan konflik yang bersifat ad hoc
Di samping secara individu, partisipasi dapat
dilakukan secara kelompok. Untuk itu, organisasi masyarakat berperan sebagai
pelaksana pembangunan perdamaian, melaksanakan pelayanan kebutuhan dasar dan
melakukan kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi. Unsur masyarakat yang terlibat dalam
penyelesaian masyarakat melibatkan tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat,
pegiat perdamaian, serta melibatkan pihak-pihak yang berkonflik. Ini merupakan
hal baru dalam pendekatan penyelesaian masyarakat.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pemerintah
belum menerapkan kebijakan penanganan konflik yang komprehensif, efektif dalam
strategi pencegahan, penanganan pada saat konflik, dan setelah konflik.
Peraturan perundang-undangan penanganan konflik sosial yang ada pada saat ini
masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bersifat reaktif
dalam berbagai peraturan yang tingkatnya di bawah undang-undang dan bersifat
sektoral yang diatur dalam peraturan menteri, bahkan terjadi disharmonisasi
antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, serta
terdapat kekosongan hukum.
Kelemahan pada kebijakan penanganan konflik serta
persoalan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada menjadi
alasan atau argumentasi yang kuat untuk membentuk satu Undang-Undang khusus
(lex specialis) Penanganan Konflik. RUU Penanganan Konflik Sosial perlu segera
diproses lebih lanjut untuk menjadi Undang-Undang sesuai dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sumber :
- Tim Adang Daradjatun.
- Naskah Akademik RUU PKS
- Naskah Akademik RUU PKS
0 comments:
Posting Komentar