Anak-anak
ditanamkan supaya lebih menyukai pangan lokal, hasil sumber daya hayati
bangsanya sendiri.
R.
Soehendy/Fotokita.net
Indonesia masih patut untuk dikasihani karena
tidak memakan makanan yang ditanam sendiri. Hal ini diungkapkan Tejo W Jatmiko
dari Indonesia Berseru, dalam Sarasehan Publik "Berbagi Inspirasi Model
Pengelolaan Sumberdaya Hayati Berbasis Sekolah", Kamis (17/4), di Jakarta.
Pada sarasehan yang diselenggarakan oleh
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) melalui salah satu programnya,
Sekolah Sobat Bumi itu, dipaparkan tentang pentingnya memanfaatkan
keanekaragaman hayati Indonesia.
Seperti
yang diketahui Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa. Negara
khatulistiwa ini merupakan penghasil 400 jenis tanaman buah, 370 tanaman sayur,
70 tanaman berumbi, dan 55 jenis rempah-rempah. Namun, impor masih tetap
menjadi solusi utama untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia.
Dalam pemaparannya, lebih lanjut Tejo
mengungkapkan bahwa kecintaan terhadap sumberdaya hayati lokal tidak muncul
pada anak-anak di usia sekolah. Survey yang dia lakukan pada 300 anak di 4 kota
besar menunjukkan bahwa pola konsumsi anak-anak di usia sekolah cenderung sudah
rusak.
"Setelah diamati selama seminggu, pola
konsumsi mereka bertumpu pada karbohidrat dan gula, serta kurang mengkonsumsi
serat dari sayur-sayuran atau buah," ujarnya. Anak-anak ini lebih memilih
makanan cepat saji daripada sumber pangan lokal seperti singkong, ubi, atau
sayur-sayuran lokal.
"Jika hal itu terus berlanjut, bisa-bisa
kita kehilangan satu generasi," tegas Tejo. Dia juga menyarankan agar
program yang dijalankan KEHATI tersebut bisa menyentuh para orang tua murid.
Sebab, perilaku anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Jika di sekolah sudah baik
diajarkan kecintaan terhadap produk lokal, tapi tidak ditularkan ke rumah, maka
efeknya akan kurang maksimal.
Menurut
Tejo keterlibatan secara langsung dari para siswa untuk ikut membudidayakan
sumber daya hayati lokal sudah sangat baik dalam tataran pembelajaran. Akan
tetapi, untuk mengubah pembelajaran itu menjadi perilaku perlu ada keterlibatan
dari keluarga siswa.
Seperti yang diketahui, pada program Sekolah
Sobat Bumi ini Pertamina Foundation dan Yayasan KEHATI membina 7 sekolah dasar
penerima Adiwiyata Mandiri. Sekolah-sekolah itu adalah SDN 83 Pekanbaru (Riau),
SDN Metro 4 (Lampung), SDN Bendungan Hilir 12 (Jakarta), Sekolah Citra Alam
Ciganjur (Jakarta), SDN Bantarjati 9 Bogor (Jawa Barat), SDN Ungaran
(Jogjakarta), dan SDN 3 Balikpapan (Kalimantan Timur).
Pada pelaksanaan programnya, sekolah-sekolah
tersebut sudah menunjukan hasil. Seperti yang dilakukan oleh SDN 3 Balikpapan
yang mulai mengenalkan murid-muridnya terhadap jamu dan jajanan tradisional.
Kemudian mereka juga dilibatkan dalam pembudidayaan bawang tiwai, yang
merupakan komoditi lokal. Oleh guru dan siswa SDN 3 Balikpapan bawang yang
sudah sejak lama digunakan masyarakat Dayak untuk pengobatan itu diolah menjadi
kue, sirup, kerupuk, jeli serta beberapa produk yang lain.
"Kalau di SDN 83 Pekanbaru, mereka
justru sudah melibatkan warga sekitar untuk memanfaatkan lahan seluas 300 meter
untuk ditanami tanaman lokal," kata Rina Kusuma, Education and Outreach Officer,
Yayasan KEHATI. Sekolah dasar ini juga berhasil mengembangkan budidaya jamur
yang proses dan tata caranya diintegrasikan dengan kurikulum di sekolah.
Beberapa sekolah lain juga memiliki capaian
yang tidak kalah hebatnya. Mereka berusaha memberikan yang terbaik untuk
mencoba membentuk paradigma anak-anak didiknya agar lebih peduli pada
sumberdaya hayati lokal. Sehingga ke depan, anak-anak Indonesia akan lebih suka
memakan makanan hasil bangsanya sendiri.
(Gloria
Samantha)
0 comments:
Posting Komentar